HEADER

PKBM TARUNA KENCANA

NPSN: P9996460

No. Ijop: 421.10/399/PAUD dan DIKMAS

Sekretariat: Perum Kuningan City View (KCV), Desa Ancaran – Kuningan

Hotline: 085 794 809 189 | Email: infopkbmtarunakencana@gmail.com

Terakreditasi BAN PAUD PNF

Selamat Datang di PKBM Taruna Kencana - Kuningan

Rabu, 27 Agustus 2025

Pendidikan kesetaraan, salah satu instrumen pemenuhan kebutuhan belajar masyarakat


Foto Keluarga Besar Tutor dan Pengelola
PKBM Taruna Kencana

Pendidikan formal — SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi — sering dipandang sebagai jalan tunggal menuju keterampilan, pengakuan sosial, dan mobilitas ekonomi. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks: banyak warga yang karena berbagai alasan — putus sekolah, pekerjaan, disabilitas, migrasi, atau tanggung jawab keluarga — tidak bisa atau memilih tidak mengikuti jalur formal tersebut. Di sinilah pendidikan kesetaraan memainkan peran krusial: bukan sekadar “alternatif”, tetapi instrumen strategis untuk memastikan hak belajar setiap orang terpenuhi.

Pendidikan kesetaraan menawarkan fleksibilitas waktu, metode, dan konteks. Program seperti Paket A, B, C, kursus kejuruan nonformal, serta program literasi dan pendidikan orang dewasa, memberi kesempatan bagi mereka yang ingin mengejar pengetahuan dasar, memperoleh sertifikat setara ijazah, atau meningkatkan keterampilan praktis. Fleksibilitas ini tidak hanya memudahkan akses; ia juga relevan dengan cara orang hidup dan belajar saat ini — pekerjaan bergeser, teknologi berubah cepat, dan kebutuhan keterampilan bersifat dinamis.

Salah satu nilai penting pendidikan kesetaraan adalah inklusivitas. Ia merangkul kelompok rentan: pekerja migran, ibu rumah tangga yang ingin kembali bersekolah, penyandang disabilitas, hingga warga di daerah terpencil. Ketika desain program mempertimbangkan hambatan—bahasa, biaya, transportasi, atau stigma—pendidikan kesetaraan mampu memutus siklus ketidaksetaraan yang diwariskan secara sosial dan ekonomi. Selain itu, program nonformal seringkali lebih cepat menyesuaikan materi dengan kebutuhan pasar lokal, sehingga lulusan lebih siap bekerja dan berkontribusi pada ekonomi komunitas.

Dari perspektif sosial, pendidikan kesetaraan memperluas makna “berpendidikan” di luar gelar. Pengetahuan fungsional—literasi kritis, numerasi sehari-hari, keterampilan digital dasar, kewirausahaan mikro—memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup. Misalnya, literasi dasar dapat meningkatkan kemampuan masyarakat mengakses informasi kesehatan dan hak-hak sipil; keterampilan kejuruan kecil-kecilan membuka jalur penghasilan baru. Dengan demikian, pendidikan kesetaraan bukan hanya soal “mengakui mereka yang tertinggal”, tapi soal memperkuat ketahanan sosial.

Namun, ada tantangan nyata yang mesti diatasi agar potensi ini maksimal. Pertama, masih ada stigma bahwa pendidikan nonformal “lebih rendah” dibanding formal. Stigma ini mengurangi insentif peserta dan menghambat pengakuan sertifikat nonformal oleh pemberi kerja dan institusi lain. Kedua, pendanaan dan sumber daya seringkali tidak cukup—pengajar berkualitas, bahan ajar, dan infrastruktur digital memerlukan investasi. Ketiga, koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, NGO, dan sektor swasta belum selalu efektif; tanpa sinergi, program bisa tumpang tindih atau sulit diakses.

Tuto Kunjung

Solusi praktis bisa diarahkan pada tiga hal: pengakuan, kualitas, dan kolaborasi. Pengakuan sertifikat pendidikan kesetaraan oleh dunia usaha dan lembaga formal perlu diperkuat lewat kerangka kompetensi dan standar yang jelas. Untuk kualitas, pelatihan guru/ fasilitator nonformal dan penyediaan materi ajar yang relevan (termasuk modul digital yang mudah diakses) sangat penting. Sedangkan untuk kolaborasi, model kemitraan publik-swasta-komunitas dapat memperluas jangkauan dan relevansi program—misalnya, pelatihan kejuruan yang dirancang bersama industri lokal sehingga lulusan siap bekerja.

Pendidikan kesetaraan juga harus memanfaatkan teknologi dengan cermat. Pembelajaran daring dan blended learning membuka peluang besar, tapi harus disertai upaya menutup kesenjangan akses digital—koneksi, perangkat, dan pemahaman literasi digital. Solusi sederhana seperti pusat belajar komunitas, jam belajar fleksibel, dan modul offline dapat membantu menjangkau mereka yang belum sepenuhnya terhubung.

Akhirnya, penting untuk melihat pendidikan kesetaraan bukan sebagai program sementara tetapi bagian dari sistem pendidikan nasional yang holistik. Ketika kebijakan dan anggaran mengakui peran pendidikan nonformal, ketika sertifikatnya mendapat pengakuan, dan ketika kualitas serta akses diperkuat, pendidikan kesetaraan akan benar-benar menjadi instrumen pemenuhan kebutuhan belajar masyarakat — memungkinkan setiap individu belajar sepanjang hayat, berkarya, dan berpartisipasi dalam kemajuan bersama.

Pendidikan adalah hak; kesetaraan adalah jalannya. Membangun sistem yang menghargai berbagai jalan belajar bukan hanya tindakan sosial yang adil — itu juga investasi cerdas untuk masa depan bangsa.

Oleh :
Tim Redaksi T-Ken
PKBM Taruna kencana 



Tingkatkan Kerjasama, PKBM Taruna Kencana Serahkan Bantuan Alat Olahraga untuk PPS Cahaya Kasih Sayang Banjaran

Penyerahan Alat Olahraga secara simbolis Banjaran — Dalam upaya mempererat kerja sama dan mendukung pengembangan kegiatan pendidikan nonform...